AWAL KELAHIRAN SINEMA merupakan awal dari eksplorasi teknologi pembuatan dan pemutaran gambar bergerak. Sinema lahir saat Auguste dan Louis Lumière (Lumière Bersaudara) memutarkan sepuluh film di Paris pada 28 Desember 1895. Lumière memperkenalkan cinematographe, piranti yang mampu merekam sekaligus memproyeksikan gambar 16 bingkai per detik (16 frame-per-second–fps). Proyeksi gambar bergerak kemudian berkembang melalui serangkaian uji coba penghadiran bingkai per detik. Pada era awal kehadiran film bisu, tingkat bingkai (frame rate) yang digunakan berkisar pada 16 sampai 24 bingkai per detik. Kemudian pada 1920-an, standar yang digunakan berkisar pada jangkauan 20–26 per detik. Namun, sekitar 1927 hingga 1930, studio pembuatan film sepakat menggunakan 24 bingkai per detik sebagai standar pembuatan film dengan teknologi kamera seluloid 35mm yang juga mampu merekam suara.
Kehadiran sinema di Indonesia tidak lepas dari perkembangan sinema global. Delapan bulan setelah kelahiran sinema di Prancis, gambar bergerak hadir di Hindia Belanda. Seorang operator kamera bernama Louis Talbot membawa teknologi paten dan film buatan Lumière ke Batavia pada Oktober 1896. Kemudian ketika film bersuara hadir, industri film Hindia Belanda turut berkembang. Industri film di Hindia Belanda mengadopsi standar pembuatan film yang menghadirkan 24 bingkai per detik. Standar ini berlanjut pada pembuatan film setelah kemerdekaan Indonesia yang menggunakan kamera seluloid. Era seluloid berakhir setelah Reformasi, ketika teknologi digital menggantikan piranti analog di bioskop Indonesia.
Sebagai seorang perempuan yang tidak tinggal di ibu kota, melihat film seluloid merupakan pengalaman yang asing. Saya masih ingat persinggungan awal saya dengan film tidak terjadi di ruang gelap seperti bioskop, tetapi melalui tayangan televisi swasta pada 1990-an. Tontonan film saya saat itu masih terbatas. Seingat saya, film yang hadir di TV swasta saat saya kecil hanyalah film horor yang dibintangi oleh Suzanna dan film komedi Warkop DKI. Baru setelah tahun 2000-an, pertama kalinya saya mengalami menonton di ruang gelap, tepatnya di bioskop Mataram Yogyakarta. Saya menonton film Ada Apa dengan Cinta 1 (Rudi Soedjarwo, 2002).
Pengalaman melihat film seluloid ternyata hanya berjalan beberapa tahun saja. Perlahan-lahan bioskop di Indonesia menggunakan piranti digital sebagai imbas dari kesuksesan film horor Jelangkung (Rudi Soedjarwo, 2001). Sejak saat itu, pengusaha jaringan Bioskop 21 mengganti proyektor dengan format digital. Ketika menilik ke belakang, kemudian saya juga baru menyadari bahwa film Janji Joni (Joko Anwar, 2005) tidak hanya menghadirkan proses pemutaran film analog, tetapi menjadi momentum perpisahan sinema Indonesia dengan seluloid. Pada momen peralihan ini, saya menjadi saksi kematian 24 bingkai per detik di Indonesia.
Pada 2012, untuk pertama kalinya, saya melihat film klasik Indonesia pada layar besar. Film itu berjudul Lewat Djam Malam (Usmar Ismail, 1954) yang baru saja direstorasi. Pertemuan saya dengan film Usmar adalah pengalaman yang berkesan. Lewat Djam Malam merupakan film yang membuat saya tertarik untuk mengulik lebih jauh sejarah film Indonesia, terutama yang dibuat sebelum 1950-an. Saat saya mengambil Magister Ilmu Religi dan Budaya (sekarang Kajian Budaya), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, film Lewat Djam Malam menjadi pilihan awal saya dalam penulisan tesis. Namun, saat saya hendak mendalami film ini, ada halangan yang datang dari internal maupun eksternal. Dari diri saya sendiri, ketika hendak meneliti film Usmar, muncul pertanyaan apakah saya hanya akan mengulang wacana nasionalisme yang telah disematkan untuk Usmar dan filmnya? Apakah penelitian saya nanti memberikan kebaruan? Sedangkan dari aspek eksternal, ada hambatan untuk mengakses film Lewat Djam Malam. Film ini eksklusif. Hasil restorasinya ditayangkan di Festival Film Cannes 2012. Sedangkan untuk mengakses seluloidnya yang tersimpan di Sinematek Indonesia memiliki kendalanya tersendiri. Membayangkan akses film ini saja sudah membuat saya jiper.
Kemudian pada 2014, saya mendatangi pameran kultursinema bertajuk Peradaban Sinema Dalam Pameran #1 di gedung tua Perusahaan Film Negara (PFN). Selain menghadirkan alih media film Lumière Bersaudara dari digital ke seluloid, pameran tersebut juga mengundang pengusaha bioskop keliling yang masih menggunakan analog. Saat mengobrol dengan beberapa kawan di luar gedung, pengusaha film tersebut memutar film Nawi Ismail yang dibintangi Benyamin Sueb. Selain bernostalgia dengan film Benyamin, di satu sisi saya merasa heran. Mengapa secara spesifik pameran kultursinema menayangkan film Nawi Ismail di gedung PFN? Apakah ada alasan khusus? Kedua pertanyaan tersebut kemudian membawa saya untuk memperdalam sosok Nawi. Saya mulai mencari film-filmnya di YouTube dan tertarik dengan yang saya temukan. Hasilnya, saya memutuskan untuk mencoba menganalisis tujuh film Nawi yang dibuat semasa Orde Baru.
Keputusan untuk meneliti film Nawi sendiri pada mulanya adalah pilihan pragmatis–saya ingin mencari film klasik yang mudah diakses,tidak terlalu serius, dan jenaka . Namun, hal tersebut kemudian membawa saya pada kecelakaan beruntun. Saya menjadi terfokus membaca ulang sejarah film Indonesia dan harus memperbanyak pengetahuan tentang teks film. Butuh tiga tahun bagi saya untuk menyelesaikan tesis, yakni dari 2015 sampai 2018. Tantangan yang pertama adalah pembahasan Nawi dan sosoknya tidak terlalu banyak. Kedua, saya harus meyakinkan diri untuk berkomitmen menggunakan teori tatapan dalam sinema tawaran Todd McGowan,[1] yang pada saat itu belum banyak dilakukan di Indonesia. Akhirnya, pada pertengahan 2018, saya lulus dengan tesis berjudul “Nasionalisme dalam Film Nawi Ismail: Analisis Mengenai Ideologi dalam Film Si Pitung, Mereka Kembali, Ratu Amplop, Samson Betawi, 3 Janggo, Benyamin Tukang Ngibul, dan Memble tapi Kece.
Setelah berjarak kurang lebih lima tahun sejak penyelesaian tesis, saya menyadari bahwa yang saya kerjakan adalah menghidupkan kembali sosok dan film yang terpinggirkan dalam wacana Sinema Indonesia. Ironisnya, meskipun seluloid telah mati, teknologinya tidak masif digunakan kembali dan menjadi eksklusif di ruang penyimpanan arsip film, teknologi digital membuat film klasik hidup kembali. Sebagaimana ditegaskan Laura Mulvey dalam Death of 24x a Second,[2] teknologi baru justru membawa yang aneh atau asing (the uncanny) kembali lagi ke sinema. Aksi perlambatan (delaying) dengan membekukan gambar melalui screen capture adalah cara untuk melihat kembali sejarah dan trauma yang berimbas pada film yang kita tonton. Kelahiran kembali film klasik dalam format digital setidaknya bisa membuat kita mempertanyakan kembali tentang wacana sinema Indonesia dan peminggiran film-film tertentu (film b, film karya sutradara kiri, dan film karya sutradara perempuan) dan pembentukan estetika film Indonesia.
Dalam bagian pertama Biang Kerok Kenikmatan: Nawi Ismail dalam Sinema Indonesia, saya menjabarkan posisi Nawi dalam sinema Indonesia. Nawi merupakan pionir editor, produser, dan sutradara film yang aktif sejak berkarya dari 1940 sampai 1986. Pertanyaan yang muncul saat saya melihat film Nawi di PFN akhirnya terjawab setelah mengulik sosok dan keterlibatannya dalam pembuatan film berita dan film fiksi awal oleh PFN. Tak hanya membuat film pesanan pemerintah (masa penjajahan Jepang dan pada masa pemerintahan Sukarno), Nawi juga dikenal dengan sebagai pembuat film komedi. Digitisasi film yang berkembang di Indonesia–dan global–juga menambah data film Nawi yang belum tertulis pada tesis saya sebelumnya. Usmar pernah menawari Nawi untuk terlibat sebagai anggota Perfini, menilik keterlibatannya sebagai editor dalam Gadis Desa (Usmar Ismail, 1949).
Lalu pada bagian kedua, saya menunjukkan bagaimana cara Nawi menghadirkan tatapan dalam filmnya. Bila konsep tatapan pada dekade-dekade awal penerapannya dalam kajian film dikaitkan dengan aspek kepenontonan, McGowan menawarkan tatapan sebagai objek yang terdapat dalam teks film. Selain itu, tatapan menurut Todd McGowan memiliki potensi radikal untuk menunjukkan kelemahan ideologi yang berada di balik film. Dengan menerapkan konsep tatapan yang ditawarkan McGowan, saya dapat membaca bahwa Nawi menggunakan unsur komedi dan film bergenre komedi tidak hanya untuk menghibur penontonnya, tetapi juga menguatkan agensinya sebagai seorang sineas yang berkarya di tengah kekuasaan rezim Orde Baru. Misalnya dalam Nawi justru menghadirkan tatapan traumatis melalui film komedi yaitu Benyamin Tukang Ngibul (1975), Nawi menghadirkan tatapan traumatis melalui objek sepatu bot–yang saya baca sebagai representasi dari militerisme–yang hadir secara repetitif dan membuat karakter dalam film mengalami kemalangan beruntun.
Buku Biang Kerok Kenikmatan: Nawi Ismail dalam Sinema Indonesia adalah jejak awal saya dalam mendalami kajian film. Dalam buku ini saya menuangkan pemahaman reflektif dan kritis saya atas sinema Indonesia dan secara spesifik menawarkan pembacaan tatapan traumatis yang hadir dalam teks film. Bila film Usmar adalah pintu masuk saya melihat kembali film klasik Indonesia yang selama ini ekslusif tersimpan dalam ruang arsip, film Nawi adalah titik berangkat saya dalam mengkritisi pembentukan wacana film nasional.
[1] McGowan, Todd. 2012. The Real Gaze: Film Theory After Lacan. New York: State University of New York Press.
[2] Mulvey, Laura. 2006. Death 24x a Second: Stillness and the Moving Image. London: Reaktion Books.
Umi Lestari
Penulis, Kurator, Pengajar